Rabu, 28 September 2011

.:Cerita Ay:.

Lama banget ya blog ini tidak di update. Sekarang harus update diblog pribadi bukan soal percintaan pribadi melainkan percintaan kita terhadap mata kuliah yang diberikan oleh dosen Seamolec. (*Pesan pak direktur Seamolec).

Akhirnya blog ini aktiv kembali bukan untuk membahas atau curhat masalah pribadi melainkan masalah sekolah. Hati - hati yaa nanti kecolongan. Seru juga harus berbagi lewat blog pribadi tentang ilmu yang didapat diperkuliahan dan di share kepada banyak orang.

Rabu, 07 September 2011

.:By My Everything:.

Dear Putri, Winjani Ayu Putri Maruno (yang sering aku balik namanya)

54 hari yang lalu adalah pertemuan pertama kita, pertemuan yang tidak pernah diduga, tanpa perkenalan atau jabat tangan, tanpa saling mengenalkan diri masing-masing. Namun dari sanalah aku disadarkan untuk mulai membuka hati setelah bertahun-tahun kosong... Tidak butuh waktu lama untuk meyakinkan hatiku bahwa dirimulah wanitaku, wanita yang selalu aku dambakan, wanita yang selalu aku ucapkan dalam setiap doaku. Entah kapan pastinya cinta itu datang...

Banyak tantangan yang tampak ketika aku mencintaimu, ketika aku menyayangimu, namun keyakinanku untuk memperjuangkan cinta ini lebih besar dari semua itu, aku tidak memperdulikan apa yang akan terjadi setelah aku membuat janji untuk setia bersamamu, janji untuk menjaga hati dan cinta ini, mengabaikan tantangan terbesar yang mungkin bisa menjadikanku jelek di mata bos besar. Semua aku lakukan karena aku yakin atas apa yang aku perjuangkan...

54 hari ini adalah hari-hari terindah dalam hidupku, hari yang penuh dengan semangat dan kebahagiaan, terutama setelah 3 Juli 2011 Aku sangat bahagia ketika mendengar kabar kamu diterima di ITB, kampus yang menjadi impian banyak orang, kampus yang menjadi impianku sejak masih SMA.

Dan aku harus menerima kenyataan bahwa kita harus menjalani hubungan jarak jauh. Bukan masalah jaraknya, namun keyakinan kita untuk menjaga hati dan cinta ini... Apapun yang terjadi, Insya'Allah hati ini akan aku jaga untukmu, cintaku akan selalu untukmu seorang...

Kejarlah impianmu, bukan hanya impianmu, namun impian keluarga dan adik-adikmu juga... Aku yakin kamu bisa menggapainya, tinggal selangkah lagi...

Maaf aku bukan pria romantis yang pandai merayu dan merangkai kata-kata indah untuk wanitanya, hanya ini yang bisa aku berikan untuk kekasih hatiku...

.:Memaafkan:.

(Dimuat di Koran Terbesar Analisa Medan, Senin, 22 Agustus 2011)

Jika ada kesalahan terhadap orang lain, untuk apa membesarkan ego dan membiarkan hati membusuk dengan tidak mengakuinya? Lebih baik cari waktu yang tepat dan siap untuk merendahkan hati dan mengakui kesalahan itu. Bukankah itu adalah salah satu solusi terbaik untuk membuat hati tetap berfungsi sebagaimana mestinya? ~ Komunikator No. 1 Indonesia

Paul Boose pernah mengatakan ‘memaafkan memang tidak bisa mengubah apa yang sudah terjadi di masa lalu, namun ia akan melapangkan jalan kita ke masa depan.’ Sebuah pernyataan yang luar biasa bermanfaatnya buat insan yang tengah memendam rasa benci tiada henti terhadap orang lain. Hati adalah hakim paling hakiki dan adil jika ia berfungsi sebagaimana mestinya. Di ruang afeksi itulah sesungguhnya segala proses keadilan dan kebijaksanaan hidup diolah. Jika ruang yang bersih dan suci itu berpenghuni dendam dan ego yang besar, bagaimana hati itu tidak akan membusuk dalam jangka panjang.

Semua Pernah Salah

Memaafkan memang bukanlah perkara yang gampang. Namun, satu renungan pencairnya yang bisa dipertimbangkan adalah tidak ada seorang manusia pun di dunia ini yang tidak pernah berbuat kesalahan. Kesalahan adalah alami dan manusiawi sifatnya. Jika hal itu disepakati, mengapa maaf tidak kita beri kepada mereka yang telah menyesali dan telah mengoreksi aksi yang tidak terpuji kepada kita? Mengapa kita tega membiarkan ia bersemayam di dalam hati yang bersih. Bukankah tindakan ini hanya menyiksa diri? Setiap kali bertemu dengan orang yang dibenci, bahkan hanya sandalnya saja! Kita sudah jadi benci bukan kepalang. Pertanyaannya adalah siapa sesungguhnya yang merugi? Oleh karena itu, berbesar hatilah untuk senantiasa membuka pintu maaf dan meminta maaf kepada setiap orang yang dengan tulus telah menyadari kekhilafannya. Bukankah ini praktik pemuliaan hidup yang sangat anggun?

Pemaaf Menjadi Besar

Sejarah telah mencatat dan memberikan contoh nyata tidak terbantahkan betapa mereka yang berjiwa pemaaf akhirnya menjadi orang besar yang dikenang bukan karena dianggap lemah telah memaafkan namun karena berbesar hati menerima perlakuan tidak adil pada mereka sebagai bagian dari dinamika kehidupan. Mari kita lihat bagaimana seorang mantan presiden legendaris Afrika Selatan, Nelson Mandela memaafkan musuh-musuh politiknya setelah ia terpilih menjadi presiden pertama di Negara kulit hitam itu secara langsung dan demokratis. Mandela dihukum dan dipenjarakan selama 18 tahun oleh musuh politiknya tanpa ada dakwaan yang jelas dan akurat. Dengan tabah ia menerima kenyataan fiktif itu sebagai bagian dari mata rantai perjalanan hidup yang harus dilaluinya. Begitu ia bebas dan akhirnya berhasil memenangkan pertarungan merebut kursi presiden, panglima tentara di istana bertanya padanya apakah ada musuh-musuhnya yang akan diperintahkan oleh sang presiden untuk ditangkap. Sang negarawan itu menjawab, ‘saya sudah memaafkan mereka sejak dalam penjara, oleh karena itu, biarkan sejarah yang mencatat siapa yang benar dan salah.’ Sebuah jawaban yang sarat kemuliaan dan kebesaran jiwa. Luar biasa! Akhirnya, ia dikenang sepanjang masa dan dihormati sampai hari ini bukan hanya oleh penduduk di negerinya namun juga di seluruh penjuru dunia.

Kisah para nabi yang tercatat rapi dalam kitab-kitab suci juga menjelaskan dan mencontohkan bagaimana para suciwan dan pembawa ajaran moral & spiritual itu memberikan maaf kepada kawan mau pun lawan mereka. Nabi Muhammad SAW memaafkan para pengkritiknya, kaum Quraish yang tidak henti-hentinya mencela, menghina bahkan memfitnahnya sebagai tukang sihir. Yesus Kristus memaafkan orang-orang yang menganiayanya. Buddha Gautama memaafkan Devadatta, salah satu murid yang mencelakainya dengan batu besar dari bukit untuk membunuhnya. Semua kisah itu seolah memberikan contoh konkret betapa catatan kitab suci bukan hanya dipahami secara konseptual tapi juga operasional. Para nabi telah walk the talk – menjalankan apa yang diucapkan dan disabdakan. Lalu, mengapa para umat tidak mencontohnya?

Contoh-contoh itu menunjukkan kepada kita betapa dendam tidak perlu disimpan atau dibalas agar tidak menjadi mata rantai kehidupan yang tidak pernah akan selesai. Jadi, prinsip an eye for an eye and a tooth for a tooth – membalas dengan cara dan obyek yang sama – tidak berlaku disini. Orang yang penuh dengan dendam sesungguhnya adalah orang yang merugi karena derita batinnya terus bergejolak setiap hari. Sementara orang yang didendami mungkin sudah melupakan peristiwa sedih yang menyebabkan dendam itu terjadi. Jika bahagia yang menjadi tujuan, lepaskan dendam itu dan rasakan betapa leganya ruang hati. Kelegaan itulah yang akan memicu kebahagiaan dan kemuliaan muncul. Mari memaafkan agar ruang hati kedua belah pihak menjadi lapang dan lega.